Strobo di Jalan Raya: Cerminan Kepercayaan Publik yang Menurun

JAKARTA, KOMPAS.com – Fenomena penggunaan sirene dan rotator atau strobo di jalan raya semakin meresahkan.
Alat yang seharusnya digunakan sebagai alat peringatan darurat kini sering disalahgunakan oleh kendaraan pribadi yang tidak dalam kondisi darurat.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menegaskan bahwa masalah utama dari maraknya penggunaan strobo ilegal adalah lemahnya penegakan hukum.
Djoko berpendapat, meskipun aturan sudah jelas, ketidaktegasan aparat membuat banyak orang berani memasang strobo tanpa izin.
Penggunaan ilegal lampu stroo dan sirene dapat mengganggu keselamatan sehingga perlu penegakan hukum tegas.
“Ketidaktegasan penegakan hukum membuat banyak orang berani pasang strobo tanpa izin. Akibatnya, masyarakat menganggap strobo bukan lagi alat keselamatan, melainkan simbol hak istimewa,” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (21/9/2025).
Kepercayaan Publik
Kondisi ini berdampak pada kepercayaan publik yang menurun.
Djoko mencatat bahwa masyarakat kini tidak lagi yakin apakah sirene yang terdengar benar-benar berkaitan dengan keadaan darurat atau hanya dijadikan alasan untuk menerobos kemacetan.
Hal ini berbahaya karena dapat memperlambat respons masyarakat saat ada keadaan darurat yang sebenarnya.
Aturan mengenai penggunaan sirene dan strobo telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kendaraan yang berhak menggunakan alat tersebut mencakup ambulans, pemadam kebakaran, polisi, kendaraan jenazah, hingga tamu negara.
Namun dalam praktiknya, banyak kendaraan pribadi yang nekat melanggar ketentuan ini.
Gerakan ?stop tot tot wuk wuk? viral di media sosial sebagai protes penggunaan sirene dan strobo ilegal. TNI dan Polri turun tangan memberi penegasan aturan.
Sanksi Efek Jera
Djoko juga menyoroti bahwa sanksi yang ada saat ini terbilang ringan.
Pelanggaran penggunaan strobo hanya dikenakan pidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.
Dia menilai angka ini jauh dari cukup untuk memberikan efek jera.
“Sudah seharusnya sanksi dinaikkan dalam revisi Undang-Undang Lalu Lintas. Kalau tidak, penyalahgunaan akan terus berulang dan menambah kekacauan di jalan,” tegas Djoko.
Dalam menghadapi permasalahan ini, dibutuhkan langkah tegas dari pihak berwenang untuk menegakkan aturan yang ada.
Dengan demikian, diharapkan penggunaan strobo dan sirene dapat kembali ke tujuan utamanya, yaitu untuk keselamatan dan penanganan darurat.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.