Kondisi Transportasi Umum di Indonesia Masih Jauh dari Harapan

Kondisi angkutan umum di sejumlah kota besar maupun kota wisata masih jauh dari harapan.
Data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat penggunaan transportasi publik di Indonesia hanya sekitar 17 persen, jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura (67 persen) atau Thailand (40 persen).
Di Bandung, jumlah angkot terus menyusut dari sekitar 7.000 unit pada awal 2010-an menjadi kurang dari 4.000 unit pada 2024, sebagian besar berusia di atas 15 tahun.
Di Palembang, LRT yang dibangun dengan biaya Rp10,9 triliun untuk Asian Games 2018 hanya mengangkut rata-rata 13.000 penumpang per hari pada semester I-2025, padahal kapasitasnya mencapai 476.000 orang per hari.
Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang, Jawa Tengah saat menunggu penumpang di Terminal Cangkiran, Semarang.
Situasi tak jauh berbeda terjadi di Semarang.
Layanan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang yang beroperasi sejak 2009 hanya mencatat rata-rata 35.000 penumpang per hari pada 2024, yang masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan mobilitas harian di kota metropolitan yang dihuni lebih dari 1,6 juta penduduk.
Sementara itu, di Denpasar, riset Badan Litbang Perhubungan 2016 mencatat penggunaan angkutan umum hanya 8,8 persen.
Angka itu tidak jauh berbeda dari survei 2007 yang hanya 3–4 persen, menandakan ketergantungan masyarakat dan wisatawan masih sangat besar pada kendaraan pribadi.
Pemerintah sebenarnya menargetkan peningkatan penggunaan angkutan umum hingga 30 persen pada 2030 sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Namun, pencapaian target tersebut dinilai masih jauh dari kenyataan di lapangan.
Menurut Muhammad Akbar, pemerhati transportasi dan mantan Kepala Dinas Perhubungan pada era Basuki Tjahaja Purnama, kontras ini menunjukkan jarak antara ambisi Indonesia untuk tampil modern dengan realitas transportasi publik di lapangan.
“Di satu sisi, Indonesia ingin menampilkan diri sebagai negara maju dengan infrastruktur modern, tetapi di lapangan kita masih melihat angkot tua, BRT yang tidak berjalan optimal, hingga LRT yang sepi penumpang,” kata Akbar kepada Kompas.com, Selasa (16/9/2025).
Akbar menilai pemerintah harus mengubah pendekatan pembangunan transportasi publik yang selama ini lebih menekankan proyek fisik ketimbang sistem pelayanan. “Yang dibutuhkan sekarang adalah integrasi antar moda, subsidi yang berkelanjutan, serta keberpihakan nyata pada transportasi massal. Tanpa itu, target 30 persen pada 2030 sulit tercapai,” ujarnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.