Jakarta Hadapi Polusi Udara: Sektor Transportasi Jadi Penyebab Utama

Jakarta, sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara, terus menghadapi tantangan besar terkait kualitas udara.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa sektor transportasi masih menjadi penyumbang terbesar polusi udara di ibu kota, dengan kontribusi mencapai 32–57 persen.
Pengemudi yang mengenakan masker wajah mengendarai skuter di sepanjang Jembatan Long Bien di tengah polusi udara yang parah di Hanoi pada 3 Januari 2025. Kabut asap tebal menyelimuti Hanoi pada 3 Januari, mengaburkan bangunan-bangunan dan menyebabkan sembilan juta penduduk tercekik oleh udara beracun saat ibu kota Vietnam tersebut menduduki puncak daftar kota-kota besar paling tercemar di dunia.
Penyebab utama masalah ini, menurutnya, adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan kadar sulfur yang tinggi.
"Hampir 90 persen BBM kita memiliki kandungan sulfur di atas 1.500 ppm. Padahal, standar Euro IV hanya memperbolehkan 50 ppm,” jelas Hanif dalam sebuah konferensi daring yang dikutip pada Senin (8/9/2025).
Meskipun saat ini Indonesia masih memberlakukan standar emisi Euro 3 untuk sepeda motor dan Euro 4 untuk mobil bensin dan diesel, keadaan ini tampaknya belum memadai.
BBM Ramah Lingkungan
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), batas maksimal kandungan sulfur pada BBM seharusnya adalah 50 ppm.
Namun, dalam kenyataannya, pilihan BBM yang memenuhi standar rendah emisi di Indonesia masih sangat terbatas.
Kendaraan melaju di tengah polusi udara yang tinggi di Hanoi pada Selasa (5/3/2024).
Hanya beberapa produk dari Pertamina, seperti Pertamina Dex, Pertamax Turbo, dan Pertamina Green 95, yang dapat dikategorikan memenuhi standar tersebut.
“Tetapi kalau kita lihat jumlahnya, itu hanya sedikit dari semua di pom (SPBU) kita. Jadi, BBM kita masih memiliki kandungan sulfur di atas 1.500 ppm, padahal standar Euro IV itu hanya 50 ppm," ujar Hanif.
Selain itu, produk BBM yang populer di kalangan masyarakat, seperti Pertalite dan Pertamax, masih mengandung sulfur hingga 1.000 ppm, sehingga belum sesuai dengan regulasi Euro 4.
Reformasi Energi
Lebih lanjut, Hanif menyatakan, “Kalau itu yang bapak-ibu konsumsi, hari ini berkontribusi menurunkan kualitas udara Jakarta di angka 32–57 persen, tergantung kegiatan massal-nya.” Ia menegaskan perlunya reformasi di sektor energi dan beralih dari BBM yang tidak ramah lingkungan.
“Namun, kenapa renewable energy tidak berkembang? Karena subsidi yang masih besar kita berikan untuk BBM yang tidak ramah lingkungan. Padahal, dana itu bisa digunakan untuk membangun energi terbarukan,” ujarnya.
Menurutnya, meningkatkan kualitas BBM serta mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan menjadi langkah krusial dalam usaha memperbaiki kualitas udara Jakarta.
Di luar sektor transportasi, Hanif juga mengingatkan bahwa sektor lain turut menyumbang polusi di Jakarta.
Di antaranya adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan kontribusi sebesar 14 persen, konstruksi 13 persen, industri 11 persen, serta aktivitas jalan raya sekitar 1–6 persen.
Dengan memahami seluruh faktor ini, diharapkan langkah-langkah yang tepat dapat diambil untuk memperbaiki kualitas udara dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi masyarakat Jakarta.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com.