Daya Saing Otomotif Indonesia Terancam Pajak Tinggi

Pajak kendaraan bermotor yang berlapis di Indonesia kembali menjadi sorotan publik, khususnya setelah harga mobil dalam negeri melambung tinggi.
Kini, harga mobil di Indonesia bisa mencapai 43 persen dari harga pabrikan sebelum pajak.
Kenaikan ini memicu perhatian besar di kalangan pelaku industri otomotif.
Perbandingan pajak kendaraan Indonesia vs Malaysia
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, baru-baru ini mengungkapkan pengalamannya di forum internasional. “Sekian tahun yang lalu saya ditanya oleh perwakilan US Automotive Council. Mereka bilang, 'pajak kamu paling tinggi di dunia'. Saat dicek, ternyata memang begitu, saya tidak bisa berkata apa-apa,” ujarnya di Jakarta, Senin (25//8/2025).
Pembanding Pajak Kendaraan Antara Indonesia dan Negara Tetangga
Kukuh membandingkan beban pajak tahunan untuk kendaraan serupa di negara tetangga, dan hasilnya cukup mengejutkan.
Mobil sekelas Avanza di Malaysia hanya dikenakan pajak sekitar Rp 1 juta per tahun, sementara di Indonesia, pajaknya bisa mencapai Rp 5 juta. “Contohnya, pajak tahunan untuk Avanza yang dibuat di Indonesia mendekati Rp 5 juta. Sementara di negara tetangga, yang justru mengimpor dari kita, pajaknya tidak sampai Rp 1 juta. Di Thailand malah lebih rendah lagi, sekitar Rp 150.000,” katanya.
Selain beban pajak yang tinggi, sistem administrasi kendaraan di Malaysia juga lebih sederhana.
Tidak ada kewajiban perpanjangan lima tahunan seperti di Indonesia, sehingga biaya tambahan yang membebani konsumen menjadi lebih kecil. “Mereka juga tidak ada esek-esek kode mesin untuk pajak lima tahunan,” lanjut Kukuh.
Gambaran pajak kendaraan bermotor di Indonesia
Biaya balik nama kendaraan di Malaysia sangat rendah, hanya sekitar Rp 7.000, sedangkan di Indonesia dapat mencapai Rp 300.000 hingga Rp 500.000.
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sistem yang lebih kompleks dan mahal dalam hal administrasi kendaraan.
Dampak Pajak Terhadap Ekonomi dan Industri Otomotif
Kajian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) juga mempertegas persoalan ini.
Peneliti Senior LPEM FEB UI, Riyanto, mengungkapkan bahwa sekitar 43 persen harga mobil di Indonesia terdiri atas pungutan pajak, yang meliputi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 15 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) 12 persen, dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) 1,2 persen.
“Jadi, 43 persen dari harga on-the-road mobil itu ya pajak yang dibayarkan,” kata Riyanto.
Penelitiannya juga menunjukkan bahwa penurunan harga mobil akibat pemangkasan pajak bisa memberikan efek berganda pada perekonomian.
Dampak penurunan harga mobil akibat penurunan pajak
Dengan harga mobil yang lebih terjangkau, permintaan meningkat, produksi otomotif bertambah, dan industri komponen ikut terdorong.
Multiplier effect dari industri kendaraan roda empat tercatat cukup signifikan.
Output multiplier mencapai 1,6 kali, income multiplier 1,62 kali, tax multiplier 1,62 kali, hingga employment multiplier 2,04 kali. “Artinya, setiap kebijakan yang menurunkan harga mobil akan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), penciptaan lapangan kerja, serta investasi baru,” ungkap Riyanto.
Kesimpulan dan Tantangan Masa Depan
Saat ini, industri kendaraan roda empat di Indonesia terdiri dari 22 perusahaan dengan nilai investasi mencapai Rp 99,16 triliun dan kapasitas produksi 2,35 juta unit per tahun.
Sektor ini juga menyerap tenaga kerja langsung lebih dari 38.000 orang, serta lebih dari 1,5 juta orang di sepanjang rantai pasok.
Dengan kontribusi sekitar 9 persen terhadap industri manufaktur nasional, beban pajak yang tinggi dinilai sebagai penghambat daya saing Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia maupun Thailand.
Kebijakan yang lebih bijaksana dalam hal perpajakan dan administrasi kendaraan perlu dipertimbangkan untuk mendukung pertumbuhan industri otomotif dan perekonomian nasional secara keseluruhan.