
Dalam dua dekade terakhir, Beijing, China, berhasil membalikkan citranya dari kota penuh asap menjadi contoh sukses pengendalian polusi udara di dunia.
Langit yang dulu kelabu kini lebih sering menampilkan warna biru, hasil dari kebijakan tegas dan peralihan besar-besaran menuju kendaraan ramah lingkungan.
Sementara itu, Jakarta masih berjuang keras menurunkan emisi dari kendaraan bermotor.
Jakarta termasuk kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Pada Minggu (5/10/2025) pukul 10.18 WIB, data IQAir menunjukkan Jakarta menempati posisi ketiga sebagai kota dengan udara terburuk di dunia.
Indeks kualitas udara (AQI) mencapai 154, masuk kategori “tidak sehat” untuk polusi PM2.5, dengan konsentrasi partikel halus 59,2 mikrogram per meter kubik, lebih dari lima kali lipat batas aman yang direkomendasikan WHO.
Jakarta hanya kalah dari Delhi dan Manila.
Di sisi lain, kota seperti Shenzhen, Lisbon, dan Oslo justru menikmati udara bersih dengan indeks di bawah 20.
Kondisi ini menunjukkan betapa beratnya tantangan Ibu Kota dalam memperbaiki kualitas udara.
Dari Langit Kelabu ke Udara Bersih
Perjalanan Beijing menuju langit biru tak terjadi dalam semalam.
Selama dua dekade terakhir, kota ini menjalankan reformasi besar di sektor transportasi dan energi.
Data Local Governments for Sustainability (ICLEI) mencatat, pada 1998–2017, jumlah kendaraan di Beijing meningkat 335 persen, sementara PDB melonjak lebih dari 1.000 persen.
Beijing Automotive Group Co., Ltd. (BAIC) resmi masuk Indonesia pada April 2024.
Lonjakan itu sempat membuat udara Beijing sangat tercemar, terutama pada 2013, ketika kadar PM2.5 mencapai 101,56 mikrogram per meter kubik.
Masker menjadi bagian dari keseharian warga, sementara penyakit pernapasan melonjak tajam.
Pemerintah China kemudian menanggapinya dengan strategi terpadu.
Beijing membangun jaringan pemantauan udara berbasis ribuan sensor, memperluas transportasi publik, dan menerapkan zona rendah emisi (LEZ).
BYD di PEVS 2025
Mendorong Mobil Listrik
Langkah lain yang tak kalah penting adalah mendorong penggunaan kendaraan listrik atau New Energy Vehicle (NEV), kemudian melarang mobil tua.
Pergerakan sepeda motor bermesin konvensional juga dilarang masuk Ibu Kota China ini. Alhasil, lahir sepeda listrik atau skuter listrik berukurang kecil bermunculan di tengah kota.
Salah satu paling revolusioner, adalah menerapkan undian pelat nomor untuk membatasi kepemilikan mobil pribadi. Jadi setiap warga yang mau beli mobil baru, bermesin konvensional (bensin/solar) harus rebutan pelat nomor yang diundi pemerintah. Jumlahnya sangat terbatas dan mahal.
Tapi, warga bebas dapat pelat nomor kalau beli mobil listrik atau PHEV untuk kendaraan barunya. Otomatis mendong transformasi teknologi transportasi pribadi di tengah pilihan masyarakat.
Kolaborasi lintas wilayah dengan Tianjin dan Hebei juga dilakukan.
Hasilnya, polusi PM2.5 di kawasan tersebut turun hampir 25 persen hanya dalam empat tahun.
Menurut studi Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC), warga Beijing kini berpotensi hidup 4,6 tahun lebih lama dibanding satu dekade lalu, buah dari udara yang jauh lebih bersih.
Kebijakan ini juga mendorong lahirnya industri otomotif baru berbasis teknologi bersih.
Produsen seperti BYD, NIO, dan Geely kini menjadi simbol era baru mobilitas hijau di China.
Kabut Asap Batubara Dikeluhkan Nelayan dan Masyarakat Pesisir Majene *** Local Caption *** Kabut Asap Batubara Dikeluhkan Nelayan dan Masyarakat Pesisir Majene
Kondisi Jakarta
Kondisi di Jakarta saat ini masih jauh berbeda.
Meski pemerintah telah menjalankan berbagai kebijakan pengendalian emisi, polusi udara tetap menjadi masalah utama.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat populasi kendaraan listrik di Indonesia kini mencapai 274.802 unit per Juni 2025.
Jumlah ini meningkat dari 207.478 unit pada 2024 dan lebih dari dua kali lipat dibanding 2023 yang hanya 116.439 unit.
Meski pertumbuhannya pesat, jumlah tersebut masih sangat kecil dibandingkan total kendaraan bermotor di Indonesia yang mencapai lebih dari 150 juta unit.
Kendaraan bermotor melambat akibat terjebak kemacetan di jalan Jenderal Sudriman, Jakarta Pusat, Kamis (8/8/2019). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk memperluas sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap. Sosialisasi perluasan ganjil genap dimulai dari 7 Agustus hingga 8 September 2019. Kemudian, uji coba di ruas jalan tambahan dimulai pada 12 Agustus sampai 6 September 2019.
Menurut pengamat transportasi sekaligus Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Ki Darmaningtyas, penerapan kebijakan ala Beijing bisa dilakukan, namun perlu disesuaikan dengan kondisi energi dan perilaku masyarakat Indonesia. “Kalau kebijakannya mau, bisa saja,” ujar Darmaningtyas kepada Kompas.com, Senin (6/10/2025).
“Cuma kita harus lihat kendalanya. Listrik kita masih bergantung pada batu bara. Kalau semua kendaraan diganti jadi listrik, otomatis butuh pasokan listrik besar yang berarti butuh pembakaran batu bara besar pula," lanjut dia.
Ia menilai, tanpa transisi energi bersih, elektrifikasi kendaraan hanya memindahkan sumber polusi dari jalan raya ke pembangkit listrik.
Selain itu, usia baterai yang terbatas dan biaya penggantiannya yang tinggi juga bisa menjadi beban masyarakat. “Kalau baterainya cuma tahan delapan tahun, masyarakat harus investasi lagi. Belum lagi limbah baterainya bagaimana pengelolaannya,” tambahnya.
Menurutnya, kunci penting ada pada penyediaan transportasi umum yang benar-benar masif dan terintegrasi. “Kalau pemerintah menyediakan angkutan umum yang merata dan nyaman, masyarakat nggak masalah nggak punya mobil pribadi. Tetapi kalau transportasinya belum masif, masyarakat sulit beralih,” ujar dia.
Kondisi geografis Jakarta yang rentan banjir juga menjadi tantangan tersendiri.
Sementara kendaraan listrik memiliki risiko tinggi ketika terendam air, mulai dari gangguan baterai hingga kendaraan mogok.
Kunci di Perubahan Budaya, Bukan Sekadar Teknologi
Hal senada disampaikan Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara.
Pabrik mobil PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) di Karawang, Jawa Barat.
Ia menilai keberhasilan Beijing lahir bukan hanya dari teknologi, riset dan pengembangan (RnD), tapi juga perubahan budaya masyarakatnya. “Kalau kita hanya bicara mobil listrik dan berharap langsung jadi kota terbersih, itu terlalu menyederhanakan,” kata Kukuh.
“Bila melihat dari China, khususnya Beijing, yang paling penting itu budayanya, bukan hanya teknologi dan RnD yang memang di sana sangat besar sehingga industri maju," lanjut dia.
China, menurutnya, memulai dari hal-hal sederhana dan tegas seperti kampanye kesopanan publik, hingga disiplin dalam menggunakan fasilitas umum menjadi dasar dari perubahan perilaku. “Setelah budaya masyarakatnya terbentuk, barulah kebijakan besar seperti transportasi massal, kereta cepat, hingga pengaturan kendaraan pribadi dijalankan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pembangunan transportasi di Indonesia harus dilihat secara menyeluruh, bukan hanya dari sisi elektrifikasi kendaraan pribadi. “Sekarang, dari rumah ke halte Transjakarta saja masih sulit. Beda dengan di Beijing atau Shanghai yang transportasinya masif dan nyambung. Jadi jangan melihatnya hanya masalah mobil listrik versus konvensional,” katanya.
Menuju Langit Biru Jakarta
Baik Darmaningtyas maupun Kukuh sependapat, langkah menuju udara bersih di Jakarta tak cukup hanya dengan kendaraan listrik.
Kuncinya ada pada perencanaan transportasi dan energi yang saling terhubung, serta komitmen masyarakat untuk berubah.
Beijing telah membuktikan, kota padat dan penuh tantangan pun bisa bertransformasi lewat kebijakan tegas dan disiplin kolektif.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.Source: Transformasi Udara Biru Jakarta: Belajar dari Beijing