
Pemerintah diminta untuk meninjau ulang arah kebijakan subsidi kendaraan listrik yang saat ini masih berfokus pada motor dan mobil pribadi.
Pengamat transportasi sekaligus Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Ki Darmaningtyas, menilai pendekatan tersebut tidak menyelesaikan akar persoalan transportasi di Indonesia, yakni polusi dan kemacetan.
“Kalau motor listrik dan mobil listrik, pencemarannya mungkin berkurang, tapi kemacetannya tidak. Jadi itu kebijakan yang keliru,” ujarnya kepada Kompas.com, Senin (6/10/2025).
Bus listrik Medan hadir dengan tarif Rp 5.000 dan Rp 2.500, layanan 5 koridor, 60 armada, dan pembayaran digital.
Menurutnya, langkah yang lebih tepat adalah mengarahkan subsidi pada pembelian bus listrik untuk transportasi umum, bukan kendaraan pribadi.
Dengan begitu, masyarakat di berbagai daerah bisa menikmati layanan angkutan umum yang bersih dan efisien.
“Kalau yang cerdas, yang mengurangi polusi udara dan sekaligus mengurangi kemacetan, subsidi untuk bus listrik untuk angkutan umum,” tegasnya.
Darmaningtyas menilai, pemberian insentif terhadap bus listrik akan memberikan dampak nyata bagi sistem transportasi nasional.
Selain menekan emisi gas buang, kehadiran bus listrik juga mendorong peralihan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik di perkotaan.
Pemprov DKI Jakarta segera membuka 3 rute baru bus Transjabodetabek yang hubungkan wilayah Depok, Bogor, dan Ancol.
“Kalau bus listrik mendapat insentif yang layak, maka semua daerah atau kota di Indonesia bisa dilayani angkutan umum berbasis listrik,” ujarnya.
Ia menambahkan, selama ini kebijakan subsidi kendaraan pribadi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas.
Sementara masyarakat luas yang bergantung pada transportasi publik justru belum merasakan manfaat dari transisi menuju kendaraan rendah emisi.
“Transportasi umum berbasis listrik bisa menjadi solusi komprehensif. Itu lebih adil dan berdampak langsung ke masyarakat,” katanya.
Kebijakan Pemerintah
Sebagai informasi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025 yang mengatur insentif pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah (DTP) untuk kendaraan listrik berbasis baterai (KBL).
Dalam aturan tersebut, insentif diberikan untuk mobil dan bus listrik yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 20 persen.
Bus listrik PO Sumber Alam dan Kalista rute Bekasi dan Yogyakarta
Mobil dan bus listrik dengan TKDN di atas 40 persen berhak mendapat potongan PPN DTP sebesar 10 persen, sedangkan bus dengan TKDN 20–40 persen mendapat 5 persen.
Kebijakan ini berlaku sepanjang masa pajak Januari–Desember 2025.
Pemerintah berharap langkah ini dapat mempercepat pengembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri dan mendukung target penurunan emisi karbon.
Namun, menurut Darmaningtyas, insentif tersebut belum menyentuh prioritas utama dalam pembangunan transportasi nasional.
“Kebijakan ini jangan sampai menjadikan pemerintah seperti brokernya industri mobil atau motor listrik. Jadilah brokernya industri bus listrik,” ujarnya.
“Kalau seluruh kota punya bus listrik, masyarakat bisa berpindah moda dengan nyaman. Polusi berkurang, kemacetan juga berkurang,” kata Darmaningtyas.
Ia berharap pemerintah berani menggeser fokus kebijakan dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
“Subsidi untuk bus listrik itu bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan dan efisiensi mobilitas,” tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com.Source: Subsidi Motor dan Mobil Listrik Dianggap Keliru, Harusnya Bus Listrik